Tuesday, October 25, 2016

Senja di Manggarai


Kereta terakhir berangkat dari Stasiun Manggarai. Hujan kembali datang setelah tak lama pergi. Di antara tembok-tembok penuh graffiti, aku bertanya kepada diriku sendiri, mengapa harus diriku? Mengapa selalu diriku? Rasa kesal sekaligus penasaran menusukku bergantian. Aku ingat selebrasi gol Mario Balotelli ke gawang Manchester United yang kontroversial itu, memamerkan kaos bertuliskan "Why always me?" disertai mimik wajah yang penuh emosi. Kini, aku tahu rasanya.

Lima jam yang lalu, aku pergi ke bioskop dengan Mila, rekan kerjaku. Sepanjang menonton film, terdengar kikikan khasnya beberapa kali. Jika kuingat-ingat, suara itu terdengar di bagian film yang tidak lucu sama sekali, setidaknya buatku.

Seusai nonton, kutanya dia soal hal yang menggelitiknya sepanjang film.

"Memangnya apanya yang lucu? Tadi itu film drama thriller, tapi kau tak ada tegang-tegangnya".

"Siapa bilang aku tak tegang? Kau harus tahu, tak mudah menulis skenario film secantik itu. Plotnya sangat rapat, detailnya hampir sempurna. Aku tertawa saking kagumnya".

"Jadi, maksudmu tak ada hal yang lucu?

"Bukan begitu, aku hanya heran, apa yang dibayangkan orang-orang itu waktu menulis filmnya. Maksudku, kau tau lah, setiap detik, banyak hal yang tak sadar kau lakukan secara otomatis, seperti rasa risih melihat air embun dari botol minum dingin yang menggenang di atas meja, lalu kau mengambil tissue untuk mengelapnya, kemudian kau curi-curi pandang memperhatikan proses kapilaritas tissue yang mulai basah itu. Orang-orang ini, cukup peka memasukkan hal-hal semacam itu ke dalam frame demi frame," kata Mila dengan tempo cepat, tangannya bergerak-gerak mencoba membuat rekaan visual tentang apa yang ia jelaskan.

"Aku mengerti. Ternyata kau suka yang seperti itu", timpalku sedikit ketus. Sejujurnya aku suka pembahasan seperti ini, tapi aku terlalu lelah untuk melanjutkannya.

Mila memang cerewet. Di sela-sela kecerewetannya, aku paling suka cara hidungnya kembang kempis setiap kali cekikikan. Apalagi jika angin kencang meniup rambutnya dari belakang ke depan hingga menutupi wajahnya. Dengan rambut seperti ditambah kikikan khasnya, bentuk Mila seperti Sadako yang sedang tersedak kacang polong.

***

Kami berdua berjalan kaki melewati jalan aspal yang becek, lalu berhenti di sebuah warung makanan Jepang. Aku memesan miso ramen dengan irisan daging sapi, sementara Mila membuka bekalnya. 

Antrean masakan saat itu lebih panjang dari biasanya, jadi kami hanya duduk menunggu sambil menyalakan smartphone masing-masing. Sudah jadi aturan tak tertulis bagi kami, tidak ada smartphone di antara kami selagi menonton.

"Kau sudah tau, setelah ini kau mau apa?", Mila membuka obrolan sambil memasukkan smartphone-nya ke tas kecilnya. "Maksudku, setelah kau resmi resign tadi sore".

Aku hanya diam dan menggelengkan kepala. Giliranku memasukkan smartphone ke dalam saku.

"Hey, apa pun keputusanmu, jangan pernah kau sesali", hibur Mila. Tiap kali Mila berkata bijak, senyumnya selalu mengikuti. Tak ada orang yang tak merasa teduh dibuatnya. Wanita ini istimewa.

"Tidak, hanya saja, terlalu banyak yang terjadi belakangan ini. Semuanya masih terngiang di kepalaku".

Aku tidak bohong. Kemarin, adikku masuk rumah sakit setelah dikeroyok teman-temannya di sekolah barunya. Ini sudah ketiga kalinya, hanya saja kali ini yang paling parah. Tengkorak belakang adikku retak dan tiga tulang rusuknya patah. Polisi juga memberi tahu bahwa tulang mata kakinya pecah akibat pukulan benda tumpul. Sebelumnya, adikku harus pindah-pindah sekolah karena alasan serupa. Penyebabnya pun mudah ditebak. Dua tahun lalu, aku mendengar berita tentang kemunculan ayahku yang sejak kecil sudah menghilang dari hidupku. 

Yang kutahu dari ayahku hanyalah, ia tumbuh sebagai yatim piatu yang memiliki pendirian keras. Ibuku sering bercerita tentang betapa gagahnya ayahku membela diri jika orang lain menghina apa yang ia yakini. Ibu juga menggambarkan ayahku sebagai sosok idealis yang berani menentang segala tindakan opresi orde baru di kampungku saat itu. Dari cara ibu bercerita, sudah jelas ia masih dan akan selalu mengagumi ayah, meski ayah memilih meninggalkan ibu dan anak-anaknya tanpa pamit.

Tiba-tiba, aku menjumpai wajahnya yang sudah samar dalam ingatanku lewat video YouTube yang dikirim oleh teman pesantrenku di kampung. Tidak lama setelah ledakan bom di Manhattan, New York, awal tahun itu, tampak ayahku dan beberapa temannya mengklaim teror itu sebagai buah tangannya. Gedung yang dikenal sebagai Wall Street Building itu luluh lantak, dengan korban lebih dari 500 jiwa. Seluruh dunia berkabung. Berita soal itu pun tersebar luas, semua orang membicarakannya. Di Indonesia, tentu hal ini menjadi sebuah sensasi. Apalagi karena dalang teror di ibukota ekonomi dunia itu ternyata seorang warga Indonesia.

Imbasnya, saat itu ibuku harus berurusan dengan pihak intelejen, polisi, wartawan, hingga semua orang yang hanya sekedar ingin memastikan kabar itu. Tak hanya itu, ibuku kehilangan pekerjaannya. Bukan dipecat karena mantan suaminya adalah seorang teroris kelas kakap, tapi karena terlalu sibuk menghadiri pertemuan dengan orang-orang yang ingin mengorek informasi lebih dalam lagi. Lebih parah lagi, seketika itu juga, keluarga besar kami seakan tidak ingin berurusan dengan kami. Mereka membiarkan kami menanggung beban ini sendirian.

Saat itu, ibuku tidak ingin anak-anaknya terlibat lebih jauh dalam kondisi ini. Ia melarang wartawan mewawancaraiku atau adikku, yang bahkan belum akil balik. Ia tidak tega menambah tekanan dua orang bocah yang masih tenggelam dalam kekalutan yang tak bisa dijelaskan.

Semenjak kejadian itu, ibu dan adikku harus pindah-pindah rumah. Di saat yang sama, aku sudah pindah ke Depok untuk kuliah di Universitas Indonesia. Sebagai anak tertua, aku merasa berkewajiban memberi sumbangsih lebih bagi keluargaku, terutama di masa-masa sulit kala itu. Aku sempat bekerja sambilan menjadi barista di coffee shop ternama di dekat kampus. Aku harus menjalani kuliah di siang hari, dan mengambil shift ekstra tiap malam. Untungnya, kehidupan sosialku tak terhambat karena teman-temanku juga sering datang ke tempatku bekerja, apalagi pekerjaanku bisa dibilang santai.

Belakangan ini, ibuku masih disibukkan dengan urusan ayahku sementara aku bekerja sebagai financial advisor di sebuah firma keuangan. Setiap siang, kami saling menelepon menanyakan kabar masing-masing. Baik aku maupun ibuku saling memberi kabar baik satu sama lain, meski kami berdua tahu, kami sama-sama berbohong. Di tengah apa yang menimpanya, ibu selalu menekankan betapa penting menjaga kesehatan. Dari yang kutahu, ibu sendiri lah yang memaksakan diri untuk membela habis-habisan mantan suaminya itu. Meski sudah berpisah, tetapi ibu selalu berpikir ayahku masih lah orang yang sama. Hal itu menguras tenaganya. Terakhir kali kulihat foto ibu di media, aku seperti tidak mengenalinya. Berat badannya menyusut drastis, kantung matanya semakin jelas terlihat. Kerutan-kerutan di sekujur wajahnya terlihat jelas mengintip dari balik makeup-nya. Namun, satu yang tidak berubah, matanya yang tajam menyimpan semangat untuk membuktikan sesuatu.

Kukira tidak ada yang lebih buruk dari semua hal yang sudah kulalui. Tapi aku salah. Kejadian itu bermula kemarin siang. Berita tentang meninggalnya ayahku menggema di semua media. Ayahku dikabarkan tewas saat drone operasi gabungan sekutu menggempurnya di pinggiran kota Al Raqqa, Syria Utara. Foto tubuh ayahku yang sudah terkoyak-koyak berlumuran darah dan debu tersebar di mana-mana. Hal itu tentu menjadi berita gembira bagi kebanyakan warga di seluruh dunia dan sejujurnya begitu pula bagiku, tapi tidak untuk ibuku. Seketika itu juga, Ibu menangis tak berdaya. Di waktu yang sama, teman-teman adikku mengolok-oloknya di sekolah. Mereka merayakan kematian ayahku tepat di depan muka adikku. Meski adikku juga benci kepada ayah, lama-kelamaan kalimat yang dilontarkan teman-temannya membuatnya geram. Tak tahan diperolok, adikku bangkit melawan. Tapi apa daya, ia malah babak belur. Ada yang bilang, bahkan beberapa guru ikut memukulinya. Kondisi ini memaksaku untuk cepat-cepat pulang dan aku tahu ini saatnya aku turun gunung untuk mengurus keluargaku. Maka dari itu, tadi pagi aku putuskan untuk resign saja. Untung atasanku mengerti keadaanku, jadi aku tak perlu mengikuti kebijakan resignation notice seperti karyawan kebanyakan. Aku bisa langsung berhenti bekerja.

Bagiku, nonton film bersama Mila adalah satu-satunya jalan untuk menjaga kualitas spiritualku tetap pada treknya. Bagiku, bersama Mila adalah satu-satunya sumber penghiburan yang bisa menutup kekalutan yang sedang kulalui. Lagipula, jadwal penerbanganku masih dini hari nanti.

"Hey! Jangan bengong! Makananmu sudah datang", Mila membangunkanku dari lamunan. "Aku memang tak bisa membayangkan apa yang kau rasakan, makanya aku di sini untuk menghiburmu. Jadi jangan malah membuatku ikut bersedih".

"Maaf, Mil. Aku juga bingung harus bagaimana."

"Sudah, habiskan dulu makananmu, lalu antar aku ke Manggarai. Sebagai tanda perpisahan, kita harus foto untuk kenang-kenangan! Aku tak mungkin mengunjungimu jauh-jauh ke Aceh, bukan?".

"Memangnya kenapa?"

"Hmm...", Mila berhenti sejenak, "Bukankah kau pernah bilang masuk ke kampungmu saja aku tidak boleh, ya?".

"Boleh saja, asal kau pakai kerudung. Semua orang akan menyangkamu Muslim".

"Kau bercanda, tidak ada Muslim yang memiliki ini", kata Mila sambil menunjukkan tattoo salib mungil di pergelangan tangannya.

"Hahaha... Kau tutupi saja dengan jam tanganmu", jawabku terkekeh.

***

Dua jam berlalu sejak kami berada di warung itu. Langit yang tadinya kemerahan sudah berubah gelap. Lampu-lampu jalan dan kendaraan bermotor mulai memenuhi jalanan Menteng. Bisingnya mesin-mesin mobil serta klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang akan selalu kurindukan dari Jakarta, selain Mila tentunya. Aku dan Mila berjalan perlahan menyusuri trotoar yang mulai kering menuju stasiun Manggarai. Beberapa anak kecil berlarian mendahului kami. Kulihat salah satunya memakai kaos biru muda bergaris putih bertuliskan Messi dengan nomor 10 di punggungnya. Salah satu anak lainnya memakai kaos merah dengan nama Ibrahimovic.

"Lihat, Messi dan Ibrahimovic sekarang sudah akur", kata Mila cekikikan.

Mila suka sekali dengan Messi, sedangkan aku mengidolakan Ibrahimovic. Messi dan Ibrahimovic dikabarkan tidak pernah akur, meski keduanya saling mengagumi. Begitu pula aku dan Mila.

"Kalau kita, kapan akurnya?"

"Tentu bisa, kau tahu syaratnya."

"Kau tahu kan, buatku yang kafir ini, itu bukan pokok masalahnya. Aku harus melangkahi dulu mayat ibuku sebelum bisa pindah agama.", jawabku bercanda.

"Kau ini, jaga bicaramu."

Meski kami memeluk agama yang berbeda, hal itu tidak menjadi masalah besar bagi kami masing-masing. Aku dan Mila sama-sama bukan pemeluk agama yang taat. Bahkan, lelucon soal keyakinan kami pun sudah menjadi santapan kami sehari-hari. Tentunya, terkadang lelucon ini bisa berakhir menjadi debat yang tegang dan panjang. Tapi, kami selalu menikmatinya. Kami sadar, satu-satunya yang menjadi penghalang hubungan kami hanya orang tua kami. Kami sering bercanda, siapapun yang kehilangan orang tuanya lebih dulu, dia lah yang harus pindah agama. Oleh karena itu, berteman seperti ini pun tidak masalah walaupun rasa kagum memang tumbuh di antara kami.

Kami berdua tertawa kecil hingga pintu masuk stasiun. Selama beberapa saat, tidak ada satu pun kalimat keluar dari mulut kami. Kami hanya saling menatap, menghabiskan sisa-sisa waktu terakhir bersama dalam diam, berusaha memahami perasaan satu sama lain lewat keheningan, berusaha memetakan segala kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan, dan pada akhirnya kami hanya bisa tersenyum.

"Cukup lah, keretaku sudah di sini. Aku pamit, Rif. Ingat, kau harus kuat!", kata Mila mencairkan suasana sambil menyiapkan kartu tiket elektroniknya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil melambaikan tangan. Hanya itu yang bisa kulakukan meski aku tahu, setelah ini aku mungkin tak akan bertemu lagi dengan Mila.

"Oh iya, Rif. Kabari aku jika kau benar-benar pindah agama! Hahaha selamat tinggal!", tungkas Mila diakhiri dengan kikikan pamungkas, yang mungkin terakhir kali kudengar langsung.

Mila berlari masuk ke dalam stasiun sambil melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan membentuk gestur telepon di samping telinga. Bibirku membentuk isyarat bahwa aku akan meneleponnya sesampainya aku di kampung.

Tak lama, smartphone-ku bergetar. Muncul wajah pamanku di layar smartphone. Pamanku dari keluarga ibu menelepon. Terakhir kali aku menjumpainya, wajahnya yang penuh amarah lah yang mengeluarkan kata-kata kasar kepada ibu, berkali-kali mengemukakan rasa malunya karena hal yang dilakukan ayahku. Saat itu pula, disaksikan puluhan orang, dengan emosi pamanku mengusir kami dari keluarga besarnya. 

Aku tidak menjawab panggilan telepon pamanku. Hingga beberapa kali kutolak panggilan teleponnya, akhirnya ia mengirim pesan singkat.

"Arif, cepat pulang. Terjadi sesuatu di rumah sakit."

Perasaanku tak enak. Aku segera melupakan masalah pamanku dan segera meneleponnya.

"Assalamualaikum. Maaf, Paman. Kenapa adikku?"

"Walaikumsalam Rif. Bukan adikmu. Ibumu...."

Ibuku ditemukan di sebelah adikku yang masih koma di rumah sakit, tertelungkup kaku dengan mulut berbusa tanpa meninggalkan sepucuk surat pun kecuali sebuah gelas dan sebotol pembasmi serangga di kamar mandi rumah sakit. Tak ada lagi sorot mata tajamnya, juga, tak ada lagi kobaran semangat yang terpancar dari dalamnya. Yang ada hanya sepasang bola mata penuh dengan rasa putus asa. Tatapan kosong yang seolah memberi tahu tiada masa depan yang bisa ia perjuangkan, meski ia sadar kehadiranku dan bahkan adikku yang tengah sekarat.

Tubuhku gemetar. Mulutku komat kamit seperti ingin mengucap sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa. Udara di sekitarku menjadi lebih dingin dari biasanya. Rasa kesal dan penasaran menusukku bergantian. Kesal, pada orang-orang yang bertindak konyol karena sesuatu yang kau sebut "cinta" yang terlalu erat pada orang lain. Penasaran, soal alasan rasional seseorang yang mengatasnamakan "cinta" untuk melakukan tindakan-tindakan konyol. Seperti ayahku pada keyakinannya. Seperti ibuku pada mantan suaminya. Seperti adikku pada harga dirinya.

Kenapa harus diriku? Kenapa selalu diriku? Bukan... Kenapa harus orang-orang di sekitarku?

Entah apa yang harus kusampaikan pada Mila yang baru beberapa menit lalu mengucapkan salam perpisahan buatku, dan di saat yang sama aku kehilangan orang tuaku tanpa sempat berpamitan. Aku harap ini hanya bagian dari plot sempurna yang Mila ceritakan.

Yang jelas, beberapa menit lalu, aku memang sudah memetakan kondisi ini dari segala kemungkinan yang bisa terjadi saat menatap mata Mila. Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya tersenyum dan berjalan pulang, tanpa menengok ke belakang.



***

Listening to : Nogizaka46 - Sayonara No Imi