Monday, December 27, 2021

Dua Puluh Tujuh dan Seonggok Kalkun Beku yang Disatukan dengan Sepiring Puding


Ada fakta menarik tentang komidi putar. Pertama, kebanyakan orang mengejanya dengan ‘komedi’, kemudian membanyol ngasal mempertanyakan di mana letak lucunya. Kedua, meski repetitif dan membosankan, komidi putar dapat membongkar paksa bola-bola memori inti masa kecilmu dari brankas kokoh yang kau kunci rapat. Ia rentan membuatmu yang kini dewasa jadi berbunga-bunga seperti anak remaja.

Selama berputar, memikirkan hal-hal menyenangkan adalah opsi yang dianjurkan. Mulai dari rencana liburan musim semi ke Jepang atau Korea Selatan, hingga mengingat keberhasilan pertama menerapkan rumus dua puluh dua per tujuh dikali jari-jari kuadrat di atas kertas cacah gori.

Panas dan dahaga tak lagi kau pikirkan. Kamu dibantu semilir angin lengket Jakarta Utara yang mencuri masuk lewat sela-sela lubang ketiak kaosmu, atau sebotol Pristine dalam tas hitam kecilmu yang baru setengah diminum. Dunia Fantasi punya beragam aksi, dan mereka berkongsi untuk menghibur siapa saja yang membayar.

Seperti bayi yang latihan berjalan di kamar mandi, kita sangat berhati-hati waktu menapaki bulan Desember yang asing tak terprediksi. Untukku, November yang penuh aral dan jam-jam begadang yang brutal terlalu melelahkan untuk dialami kembali. Namun ternyata, Desember juga tak pelit dalam bikin kecut hati.

Petir menyambar sore yang hambar dengan sebuah kabar, tanpa berpesan dulu supaya lihat sekitar. Kali ini, komidi lebih cocok jadi komedi. Sebuah sandiwara terjadi di depan pasang matamu yang dihiasi alis tebal melengkung — diidamkan mereka yang gemar bersolek atau bermain-main dengan pensil alis. Kamu tersipu malu-malu. Senyum lebar melukiskan hangatnya suasana batinmu.

Lain sisi lain seberang, aku terkoyak oleh gelisah dan irisan tajam pesan singkatmu. Komedi dari komidi mengakhiri rajutan untuk dua puluh tujuh yang sabar kutelateni. Alih-alih jadi memberimu sarung rajut, aku mendapati Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding. Dan pada tanggal dua puluh tujuh, Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding siap dinikmati.


--2017--

1) Daughter - Landfill

Baunya menyiksa bulu-bulu hidung. Mereka harus bekerja lebih keras menghalau partikel asing pembawa bau busuk mendekati sel-sel okfatori, sang detektor aroma. Panasnya menyengat. Tiada peneduh yang melindungimu dari tusukan matahari selain tangan-tangan eskavator atau pantat truk yang ditinggal supirnya sebat sembari menyeruput seplastik dingin KukuBima rasa anggur.

Namun tidak semua hal buruk ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA — mirip sama singkatan nama saya, ehe). Mimpi-mimpi baik yang kini tak terpakai, misalnya. Atau janji menyenangkan yang kadung usang, sampai peran utama yang tak lagi diutamakan. Di TPA, kamu bisa menghabiskan hari liburmu dengan asyik: bertanya-tanya seberapa cepat keseharian jadi kenangan, atau seberapa tipis perbedaan wujud penyemangat dan penghambat.


2) Mr. Jukes - When Your Light Goes Out (ft. Lianne La Havas)

Trek Chronic Sunshine milik Cosmo Pyke jadi anthem yang Kamu tampilkan di profil Tinder. Pilihan yang keren untuk seseorang yang memakai gambar llama nyengir sebagai foto profil utama. Padahal kata para ahli spesialis hewan berkuku genap, jangan percaya dengan anggota ordo Artiodactyla yang lagi nyengir. Jerapah, unta, atau sapi, misalnya. Wajah-wajah mereka ramah, lagi pula gemar makan sayur. Namun sesungguhnya, mereka yang sedang tersenyum justru menyimpan dengki dan sebentar-sebentar mulai akrobat buat menyalurkannya.

Kebetulan temanku, yang lebih dikenal sebagai Ayam, sedang di sebelahku. Ia adalah orang yang bertanggungjawab dalam keputusanku memberi hadiah tempat tidur gantung rajut untuk siapapun yang mengundangku ke pesta pernikahan. Nah dengar kabar dari orang-orang yang menggemari ayam dalam grup Facebook Info Mie Ayam Jogja (Ayam pula yang mengundangku bergabung), tangan-tangan ayam punya daya magis untuk membawa keberuntungan meski kadang kotor. Tak heran ceker laku di pasaran.

Aku meminta Ayam mengambil alih sejenak aplikasi perjodohan daring dari tanganku. Saat gambar llama nyengir muncul, ia mengusap profilmu ke kanan. Animasi melang-meling bergelimang bintang memeriahkan layar iPhone SE, menampilkan dua sosok yang dilebur jadi satu. Kita cocok. Oke, aku akan mulai makan ceker.

Beberapa menit, beberapa jam, beberapa malam kemudian. Obrolan santai terbentuk sambil lalu. Aku suka yang Kamu sukai, tapi belum tentu sebaliknya. Sebuah tautan berisi kumpulan video dari akun Youtube milik Mr Jukes Kamu kirimkan ke chat kita. Katamu, Kamu malas memberi rekomendasi lagu ke sembarang orang. Membuatku tersipu.Video-video sengaja diproduksi dengan suci, mereka sedang melakukan sesi rekaman langsung di sebuah studio bernama The Church (meski nggak kayak gereja). Selain sang vokalis adalah Jack Steadman, mantan punggawa Bombay Bicycle Club yang lagi doyan mencari jati diri di Jepang, Kamu secara khusus menandai sang drummer yang katamu mirip Keanu Reeves. Ganteng banget, jeritmu kegirangan tiap kali kamera menyorot si drummer (yang menurutku lebih mirip Paul Rudd).

“Aku suka Somebody New,” aku memberimu kode. Kamu lebih suka Angels/Your Love.

“Tapi kalau lagi patah hati dengerin When Your Light Goes Out, pas banget ndak sih?” tanyamu nyengir.


3) The Black Keys - Turn Blue

Kita, seperti biasa, duduk di ruangan khusus perokok McDonald’s Sudirman. Sekumpulan perjaka tanggung menatap ponsel masing-masing. Semeja turis (atau mahasiswa?) beraksen Jakarta sibuk mencurahkan isi hati yang itu-itu saja. Kamu menatap mereka nanar, satu demi satu, sambil menikmati McNuggets kesukaanmu. Pantat gelas kertas Milo dingin yang Kamu pesan (tentu dengan harga tambahan karena tidak termasuk paket) mulai basah. Aku mengambil tisu dari baki cokelat lalu mengganjal gelas Milo-mu. Air tak lagi menggenang di atas meja metal mengilap khas McDonald's.

Obrolan berlangsung sampai pagi. Malam itu bukan malam minggu. Aku masih pekerja lepas dan Kamu tengah menunggu wisudamu. Tak ada kewajiban yang mengikat kita, selain menghabiskan waktu yang tak kunjung habis. Aku mendebatkan El Camino sebagai terobosan Dan Auerbach yang luar biasa sembari mengoceh tentang album Turn Blue (utamanya, Weigh of Love) yang kusebut proses pendewasaan, “orang berubah, tahu.”

Kamu bodo amat. Meski begitu, jenis musik yang dilabeli keras dan cadas jadi memori yang edukatif buatmu. Ketukan kompleks dalam musik-musik seperti itu membantumu berhitung dalam hati. Sebagai penabuh bass drum dalam grup marching band, peka terhadap ketukan itu penting. Kamu mengenang serangkaian adegan sebelum kompetisi tingkat nasional yang membuat malam-malam saat kuliah makin lambat. Latihan pukul-memukul Kamu lalui sampai para penjaga malam sudah memasuki jadwal baru. Otot-otot di punggungmu menjerit sekaligus mengeras, seperti ada sepasang sayap yang memaksa keluar, menembus lapisan kulit dan daging, mengorak-arik pegal dan linu dari balik bahu.

Matahari pagi menyalak sontak. Ia keluar terkekeh dari timur, tanpa diawali tata krama seperti senyuman atau salam. Para staf McDonald's Sudirman memulai ritual pagi: menyapu dan mengepel. Sesi kita hari itu berakhir. Kamu memilih jatuh cinta pada Obscura, dan aku masih ingin membahas The Black Keys.

“Kamu cocok ngobrol sama adikku,” tutupmu sambil mengunyah es batu dari Milo McDonald’s yang Kamu dewakan.


--2018--

4) OOHYO - Papercut

Laju industri K-pop mengalir sederas laju produksi asam dan saliva dalam mulutmu tiap kali kau memamah permen Xylitol. Kurang lebih itu yang Kamu bahas dalam skripsi (tentang Xylitol) yang bagimu tak penting-penting amat.

"Aku suka musik mereka dari kecil," bangga sekali Kamu saat itu. "Dari zaman &#$*@ yang sekarang udah om-om sampai !@&#% yang nggak sempat terkenal padahal lagunya bagus-bagus. Tapi Taeyeon tetap bias abadiku."

Coba bayangkan raut muka kebingungan seekor landak mini yang tiba-tiba dipungut dari akuarium raksasa di pasar hewan ke dalam kandang besi baru berisi potongan-potongan kayu. Alisnya akan naik sebelah. Bibirnya melongo, padahal saraf di otaknya lagi mengirim komando pada pita suara untuk mulai komat-kamit. Begitupun ekspresiku mengikuti arah pembicaraan.

Mengetahui seberapa tersesat pikiranku, Kamu mengambil iPhone SE yang telanjang di atas meja dan mencolok headset hitam. Kamu memintaku mendengarkan OOHYO.

"Aku suka Perhaps, Maybe tapi nggak ngerti bahasa Korea, padahal judulnya bahasa Inggris," protesku.

Kamu cuma diam, puas melihatku cengar-cengir mendengar suara lembut penyanyi Korea berkacamata bulat, lagu demi lagu. Enak-enak kok, bisikmu.

 "Papercut sakit banget, ya."


5) Michael Kiwanuka - Cold Little Heart (Radio Edit)

Big Little Lies musim pertama selesai kutonton. Kuceritakan padamu pengalaman menyenangkan di dalamnya: skenario adaptasi ciamik dari novel laris Liane Moriarty, tema kesadaraan atas kekerasan seksual (waktu itu gencar-gencarnya #MeToo), adegan menegangkan pesta kostum Elvis Presley, dan para aktor yang berperan apik.

Aku berterima kasih pada Tuhan atas Nicole Kidman dan pertemuan pertamaku dengan Zoë Kravitz, Kamu melimpahkan puja-puji untuk Alexander Skarsgård.

“Kenapa sekeluarga mukanya ajaib semua ya?” pertanyaan yang kalau tak salah dengar, keluar dari mulutmu yang lagi menyonyon sedotan, mengisap sisa-sisa air bekas es batu.

Kamu melanjutkan pencarian lewat Safari di iPhone 7 tua yang kala itu masih waras. Wajah-wajah keluarga Skarsgård Kamu pamerkan satu-persatu. Michael Kiwanuka melantun lagu pembuka Big Little Lies dari iPhone SE-ku yang juga masih waras.

“Apa ini? Enak juga.”

“Dengerinnya yang Radio Edit ya. Versi aslinya kepanjangan.”


6) The Corrs - The Long and Winding Road

Kampusmu sepanas iga bakar di atas hot plate yang barusan ditaruh oleh pelayan bersarung tangan pelindung panas (yang masih merasa kepanasan). Undangan masuk ke ruangan wisuda habis dibagi untuk keluarga besarmu. Aku terpaksa menunggu di bawah tenda panjang yang disediakan untuk para pelaku usaha potret-memotret. Keringat mulai balapan dari atas sampai bawah. Para fotografer yang sedang jaga di pos masing-masing tampak kipas-kipas sambil melihat-lihat jam tangan, saling bertanya kapan selesainya. Siang yang panjang.

Aku bertemu Kamu setelah acara selesai di bawah patung garuda, berfoto sebentar, dan mengucap salam pada sanak saudara yang kau kenalkan satu-persatu.

"Halo, saya Adi."

"Wah sama namanya kayak saya, Om."

Kamu memasuki mobil dengan kebaya dan toga sewaanmu, aku kembali ke parkiran motor dengan sweater abu-abuku.

Sampai lebih dulu tanpa tersesat di tempat perjamuan, aku menunggumu lama hingga menolak tiga kali tawaran menu tempe seharga dua puluh lima ribu. Keluarga besarmu sampai kemudian, kali ini aku tersesat.

Seseorang yang bernama sama duduk di depanku, menyalamiku lagi, "makan dulu, Mas Adi. Kita santai aja. Acara masih panjang."


7) Chicago - If You Leave Me Now

Kewajiban koasistensi membawamu tujuh puluh kilometer ke barat. Dipisahkan Pegunungan Menoreh, Sungai Progo, dan kehidupan baru yang membosankan.

Kesenangan seumur jagung milik kita keburu babak belur dihajar waktu. Cuma sepuluh bulan, tuturmu. Lagi pula, tujuh puluh kilometer tidak sejauh itu.

Siapa sangka, cerita-cerita baru lahir di kota membosankan yang bahkan nggak punya toko buku. Termasuk perkenalan dengan si gendut yang merepotkan. (Hewo. Kamu kangen, tidak?)


8) Weezer - Perfect Situation

Kamarmu berantakan. Kamar tempat Kamu pulang sesaat ke kota kelahiran. Kamar tua ajaib yang bisa menyimpan dingin meski tanpa mesin pendingin, hanya kipas angin murah peninggalan sepupu dan buku-buku tebal yang tersimpan tak beraturan di sebuah kontainer plastik tembus pandang. Bermerk Lion Star, apa lagi?

Motor Supra hitam kuparkir di lorong sebelah, tanpa suara, sesuai arahanmu. Kamu tidur-tiduran memakai daster floral yang didominasi warna hijau, membuat Kamu terlihat seperti lontong di atas tatakan penjaja sate Madura yang baru dibuka ujungnya.

Aku kira Kamu baru saja bangun dari tidur siangmu. Wajahmu agak bau bantal. Ternyata Kamu baru pulang dari bertemu Seorang Teman. Dan janji menemuinya lagi 25 Maret nanti.

Suara huoo-hooo Cuomo pada refrain Perfect Situation masih mengalir lewat headset, menggaung liar dalam helm hitam bawaan Honda yang belum kucopot.

Motor Supra tak lagi di lorong sebelah rumahmu.


9) Menahan Street Band - Glovebox Pistol

Ternyata, jalur lambat Ring Road Barat dan Jalan Wates cukup menyenangkan untuk dilewati kalau sedang jatuh cinta. Hingga kau sampai di gapura bertulis "Selamat Datang di Jawa Tengah", maka perjalanan tak lagi bisa dilalui sambil riang bernyanyi.

Matamu harus terbiasa mengintai lubang jalan yang bersembunyi di balik kelam malam. Mereka suka mengagetkanmu. Syukur-syukur kalau bulan sedang baik hati. Ketika lagi mendung, pasir-pasir gemar terbang liar dari truk pembangunan bandara baru yang dikebut waktu. Pasir-pasir itu berkawan dengan kegelapan untuk menyiksa mata dan ban motormu.

Tapi Kamu, bermodal es kopi susu dari kantin rumah sakit, menyiapkan bantal dan guling dengan sarung yang baru. Cuma buatku.


10) Amy Winehouse - Back to Black

Kita menimbang Masterpiece Karaoke (yang katanya dipunyai Ahmad Dhani tapi ternyata bukan). Lagunya lengkap ada Nogizaka-nya, bujukku. Kau setuju.

Aku sibuk memilih lima lagu beruntun. Egois juga ya. Nyanyian grup idola Jepang hingga boyband 90an habis kubabat. Suara jelek juga tak apa, yang penting tak buta nada. Toh aku yang bayar.

Kamu pasrah saja bermain ponsel, barangkali sedang mencari referensi lagu-lagu asyik. Sadarkah kau tentang adanya jenis lagu yang mantap buat didengar tapi tak seru untuk dinyanyikan? Beruntungnya, Kamu sadar.

Kepercayaan dirimu masih sependek ujung Indomie yang kau remuk lalu kunyah mentah. Hingga akhirnya ujung itu tiba di mulut, Kamu mengetik “Valerie Amy” di layar sentuh karaoke.

Giliranmu tiba. Kamu bersenandung malu-malu dari pojok ruangan. Kepalamu naik-turun seperti ubur-ubur yang kena lampu sorot di film dokumenter. Matamu gelisah memperhatikan lirik di layar enam puluh inci sambil sesekali mengawasi gerak-gerikku (takut aku ilfil, katamu kemudian).

“Suaramu renyah,” pujiku pakai mikrofon. “Kenapa enggak bikin cover kayak mbak-mbak di Soundcloud?”

Kamu masih melanjutkan Valerie sambil menggeleng.

“Coba habis ini Back to Black.”


--2019--

11) Lianne La Havas - Ghost 

Kita berlari cepat-cepat memasuki kereta Prambanan Ekspres dan keluar pelan-pelan sejam kemudian. Solo panas sekali, keluhmu sambil berpeluh. Telapak tanganmu basah, dahimu memerah.

Selepas isya, penyanyi Inggris dengan nama yang sangat tidak Inggris berdendang di atas panggung. Menyihir sekian banyak pasang mata yang tadinya cuma menunggu aksi Ardhito Pramono (Kamu) atau Eva Celia (aku). Keduanya mengecewakan, tapi tidak dengan Lianne. Penonton bersorak-sorai. Penyanyi berambut keriting itu menunduk sejenak, lalu menengadah ke langit malam yang telanjang tanpa bintang sambil mengucap syukur, menimbun salut dari ribuan mulut. Kita menenggak thai tea, mengisap Magnum Mild (aku), sesekali mengunyah sempol (Kamu). Alunan lirik Ghost menghantui pikiran kita.

Kita menghabiskan malam di alun-alun sampai jam dua belas. Berjalan kaki dua kilometer menuju toko es krim yang sudah tutup (Kamu kesal). Slamet Riyadi dipenuhi warung-warung dengan raungan motor plat AD yang mereduksi fungsi telinga (aku kesal). Gedung tua tak berpenghuni menarik perhatianku, mas-mas di pinggir jalan tertarik menyiulimu. 

Dan hantu yang jadi nyata ternyata jauh lebih buruk.


12) Stereophonics - A Minute Longer

Kamu tak selamanya di kota membosankan yang bahkan nggak punya toko buku. Perlahan, Kamu menemukan cara untuk lari darinya, mengirup kebebasan sesaat, atau sekadar membunuh waktu denganku. Bagian terakhir, tentu menguntungkanku. Sehari atau dua hari tak jadi masalah.

Kamu pulang hampir tiap minggu. Bisa jadi temanmu yang mengantarmu (ada yang doyan ngebut, ada pula yang menyetir hati-hati seperti lagi menyisir rambut), atau kita bisa memilih moda transportasi roda dua meski punggung pegal-pegal, atau solusi yang paling sering kita ambil: kereta api. Kamu mulai bersahabat dengan tempat penitipan kendaraan harga per malam. Keberadaan nomor penanda parkir inap selalu Kamu cek di saku parka biru tuamu setiap kita duduk di depan loket sehabis selesai mengantre beli tiket.

Pengeras suara mengumumkan kedatangan kereta Wijayakusuma, Jaka Tingkir, Prambanan Ekspress, atau apa saja yang Kamu tumpangi. Penumpang lain buru-buru menunjukkan identitas dan tiket ke petugas. Kamu berdiri santai, meraih tanganku, menempelkannya ke kepalamu seperti seorang anak (pada umumnya) berpamitan pada ayahnya sebelum masuk sekolah.

Aku pun, mulai akrab dengan kebiasaan baru seperti melambaikan tangan, atau kembali menyusuri sendirian panjangnya jalan setapak ke parkiran bertingkat Stasiun Tugu yang dipenuhi papan iklan Tiket.com. Tapi aku belum terbiasa berhenti bergumam, "boleh nambah satu menit lagi tidak?"


13) MGMT - TSLAMP

Dengar-dengar, terpapar monitor laptop yang terlalu lama menyala bisa membuat bayi yang lembut jadi berkerut. Begitupun Kamu. Sederet tab panjang di Chrome pada laptopku menyita paksa semua yang Kamu punya dariku: waktu, perhatian, kesadaran. Walaupun tak harus terpapar layar yang seharian memancar, Kamu menjelma jadi seorang bayi yang kini berkerut.

Kamu membiasakan diri tanpa nama panggilan khususku menghiasi papan notifikasi teratas ponselmu. Kita jadi lumrah memandangi layar yang berbeda, memulai topik pembicaraan yang tak terintegrasi, saling memagari privasi dengan melempar distraksi. Jarak yang terpapras tak lagi menolong saat pikiran cuma tersambung sepotong-sepotong.

"Bonjour. Je m'appelle Ali. J'habite in Staines," sapaku meniru potongan percakapan Ali G In Da House.

Meski semua bayi selalu merespons orang dewasa saat bicara bahasa asing yang sulit dicerna, tapi Kamu tak pernah menimpaliku tiap melantur. Namun tak apa, menggeneralisasi bayi memang bukan kegiatan yang baik. Kamu adalah bayi berkerut yang melalui perjalanan seratus empat puluh kilometer per hari. Jadi, cita-citamu tak seperti bayi lain: dokter perang di Afrika. Bayi-bayi yang ingin jadi dokter perang di Afrika harus bisa bahasa Prancis, katamu separuh serius.

Berbulan kemudian aku masih terpaku mengetikkan kata-kata promosi palsu, menggerak-gerakkan kursor dari perangkat tikus gigi biru, atau memilih palet warna biar padu. Kamu kini adalah bayi berkerut yang bisa bahasa Prancis — dengan sertifikasi. Es teh manis seharga sembilan ribu menyegarkan dahagaku. Kita pulang dari Sagan.


14) George Harrison - While My Guitar Gently Weeps

Menempati kamar sebelah toa masjid ternyata tidak seburuk itu. Tiap subuh, kita mendengar marbot masjid melantun azan dari pengeras suara internal. Suaranya parau, pengucapannya serampangan. Belakangan kita tahu beliau tak seberuntung kita. Alih-alih berkumandang, ia lebih mirip simbah-simbah ompong yang mengomel tiap harga rokok naik per tahunnya.

Kita terbangun tiap waktu salat subuh. Bukannya beribadah seperti yang dipropagandakan, Kamu memesan sepaket nugget ayam, kentang goreng (ekstra saus sambal), dan Milo dingin dari McDonald's — kebetulan 24 jam. Aku beberapa kali jatuh sakit. Kamu berbagi menu favoritmu, memaksaku makan, minum air putih. Selapis selimut tebal bermotif zebra Kamu sematkan ke punggungku, merapikan kerutan-kerutannya, lalu membelai rambutku halus. Kebanyakan kerja, tegurmu penuh afeksi. 

Kita terbangun tiap waktu salat subuh. Kamu melepas bagian selimutmu lalu menyelipkannya ke bawah badanku, membungkusku seperti burrito kenyal yang masih prematur. Langkah malasmu mengarah ke kamar mandi. Perjalanan belasan kilometer ke utara atau barat menanti pagimu. Kamu selalu merasa sakit. Aku meracau tak tentu arah sembari menamatkan Grand Theft Auto 5, hampir tak peduli padamu. Sebuah stik konsol hitam melekat erat pada telapak tanganku, ibu jariku sibuk menekan tombol-tombolnya, pikiranku terbenam dalam alur cerita Michael De Santa. Kebanyakan kena angin, tegurku tanpa empati.

Tanpa empati.


15) Yoko Kanno - My Favorite Things

Air mata menggenang di ujung kelopak, menunggu pecah dan mengucur deras membasahi pipi kananmu. Sound of Music sedang diputar lewat layar laptop berbingkai hijau toska. Beberapa penggal lagu kau nyanyikan lirih. Salah satu film favorit, Kamu bilang.

Kita menghabiskan tahun dengan tangis dan perpisahan, tawa dan perjumpaan, kecemasan dan perjalanan. Lecet di lututmu, cat ungu atau biru di rambutku. Kamu dan serentetan ujianmu, aku dan obsesi karierku. Perpisahan terakhirmu dari kebersamaan indah yang cuma sesaat, perkenalan pertamaku pada duka kehilangan yang kekal.

Air mata tak kunjung keluar dari sarang mereka, terlalu malas menjalar liar membasahi pipi kiriku. Episode terakhir Kids on the Slope sedang diputar lewat layar laptop berbingkai hitam. Penggalan lagu My Favorite Things kunyanyikan asal nyambung. Salah satu versi favorit, aku bilang.

"Kenapa, sih, emosinya nggak dilepas? Kasihan."


--2020--

16) The Cardigans - After All...

Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang pandai bikin akronim. Birokrasi berlapis dan beragam singkatan untuk serangkaian ujian yang terlalu panjang jadi obrolan keseharianmu. Kamu sering dongkol saat aku kesulitan dengan singkatan-singkatan yang mana cuma rekan-rekan sejawatmu yang memaknainya serius. UKMPPD, UKDI, CBT-OSCE, ACLS, DRSCAB. Aduh.

Sialnya, sisa waktumu di Yogyakarta kini sudah bisa dihitung oleh balita-balita yang dipaksa orang tua mereka meraba aritmatika. Tinggal sebentar lagi. Sambil berpacu dengan waktu, Kamu menyambangi teman-teman lama, menyambung benang-benang hubungan yang samar, menyumbang pikiranmu dengan cerita bergambar atau kucing-kucing yang tak ragu mencakar.

Nafsu dan harga diri menyetir keputusanku dalam membagi waktu. Terutama dengan Kamu. Orang-orang di fase ini memang sering takabur. Lewat doamu, Tuhan mengirimkan pertanda-pertanda sejelas gajah yang, sayangnya, hanya lewat sekelibat di pelupuk mata.

Yang kesatu, ponselku meluncur bebas ke dalam ember plastik cucian celana dalammu, menghapus jejak dan memori yang luput dari layanan awan. Belum kapok, Tuhan mengaktifkan tulahnya yang kedua. Layar cacat bawaan pabrik menghantam laptopku tanpa peringatan, membuatku merogoh jutaan hanya untuk termakan iklan. Hingga yang ketiga, Tuhan dan Kamu mungkin sudah bosan mengingatkan orang bebal yang sebentar lagi diabetes. Ia membuai kewarasanku dan jam tidurku buat saling membohongi satu sama lain. Aku belum bergeming.

"Selamat jadi kuda."


17) Europe - Carrie

Kabar buruk dari Cina mengubah rencana kita. Banyak yang meratapi kehilangan, tapi kita satu haluan: melihat wabah mematikan sebagai kesempatan. Ibukota yang kering kerontang jadi batu loncatan baru dari cetak biru masa depan kita yang lebih mirip kertas buram. 

Namun dunia lebih lihai untuk berkonspirasi mengubah impian dan angan-angan. Kita tak dilibatkan dalam kongsinya. Seandainya kita tak terlahir sial untuk berjudi, Tangerang Selatan dan Kemayoran tinggal sejengkal dari gapaian.

"Aku dapet Balikpapan," keluhmu sebelum sesal dan nestapa menjejali tiap sudut kotak perasaanmu.

Kota yang terkenal gerah itu tak lebih baik dari rayuan menyesatkan untuk pulang ke domisili keluargamu. Seremoni penyematan gelar di depan namamu yang diidamkan orang tuamu (dan orang tuaku padaku) tak begitu berarti lagi buatmu.

"Aku batal pindah ke BSD," ucapku setengah dongkol setengah bersyukur. Toh takdir kadung menculikmu ke Kalimantan.

Kita mengemasi barang-barangmu. Memasukkan mereka ke mobil pengangkut. Mencatat nama dan alamat tujuan di atas nota pengiriman. Aku memeluk Kamu erat. Bandara sepi nyenyat.

Kamu mengusap pipi dengan tisu yang diambil dari ransel warna ungu. Menutup daun pintu berkarat yang menghubungkanmu pada kota kelahiranmu.


18) Sunday Moon - Mirror

Kata orang, terpisah jarak terlalu lama akan membuat sepasang kekasih terjebak mencintai imajinasi, bukan yang asli. Apalagi sekarang sedang pandemi, orang jadi sering berandai lebih ekstrem. Aku menolak buat percaya. Barangkali Kamu juga.

"Kamu kan nggak suka yang seragaman?" tanyaku memastikan.

"Kalau kayak yang di sana sih, enggak," jawabmu dari Karangjati, beberapa hari menuju Klandasan Ilir.

Siang di Yogyakarta lagi ganas-ganasnya. Satu hal baik dari matahari yang lagi iseng tebar pesona adalah pencahayaan di kamera yang mendukung. Ia bisa membuat orang barbar tampak seperti orang Romawi bagi orang Romawi. Aku mengirim foto-foto kucing yang menemaniku sambil tidur menunggu waktu makan siang, juga swafoto warna rambut terbaruku berlatar kaca pemisah area bebas rokok dari kafe tempatku bekerja. Untung lokasinya sepi, jadi selain berani bergaya aku juga percaya pandemi tak akan mampir sementara.

Kamu membalas dengan kiriman satu stoples kue nastar — serta ancaman untuk menghabiskannya. Sambil menunggu paketmu tiba di tujuan, Kamu mencoba merebut perhatianku dengan lawakan: "Bebek berenang kakinya gerak terus di bawah air kenapa nggak berotot ya? Tolong dijawab. Dari Ratna di Rawamangun."

"Bentar, lagi call."


19) Mitski - Pearl Diver

Cuma orang berkepala keras, yang gemar adu keras sama orang keras kepala. Sama halnya dengan orang menyedihkan yang berpikir orang lain tak lebih menyedihkan. 

Ada juga jenis orang yang merasa tak tersiksa meski tubuh dan jiwa lagi dihantam siksaan tak berkesudahaan. Kamu, salah satunya. Namun ada lagi varian lain: orang yang merasa berguna saat satu-satunya kegunaannya hanya jadi orang yang tak berguna.

Kebetulan, tepat pada tanggal 9 Juli 2020 pukul delapan malam, aku merasa jadi orang paling berguna sedunia.


20) Shayne Orok - Marutsuke (From "Given")

Kita makin fasih bicara dalam bahasa yang hanya dipahami para bayi. Aku tak lagi jadi kuda lari, kini pura-pura jadi pemburu properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Kita makin galir mengeksplorasi diksi untuk sapaan yang hanya dipahami para bayi. Semangatku lagi tinggi-tingginya berburu properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Kita makin sering menghindar dengan distraksi yang hanya dipahami para bayi. Aku cuma peduli pada varian-varian soto Banjar untuk dicicipi dan daftar menggiurkan yang memuat turunnya harga properti. Kamu kerasukan serial animasi remaja yang bertanding bola voli.

Dan ada serial animasi lain yang membuatmu hampir membanting iPhone yang baru Kamu beli.


--2021--

21) Radiohead - Bullet Proof… I Wish I Was

Dering panggilan video memutus monolog dari podcast AC Milan favoritku. Kamu baru selesai jaga malam: rambutmu basah sehabis keramas, pori-pori di pipimu terbuka segar.

Kamu bercerita tentang rekan kerjamu yang suram, dan aku bercerita tentang pencapaian kerjaku yang payah. Kita tertawa. Rambutmu yang diusap handuk berkali-kali mulai mengering. Aku masih berbaring di kasur bersprei abu-abu polos dengan posisi yang sama.

“Aku baru dengar Radiohead,” katamu norak. “Surprisingly, No Surprises is so good, kayak Nia.”

“Kamu kurang riset,” aku meledek lebih norak. 

Oh sayang sekali, No Surprises tidak ditulis untuk orang-orang yang sedang patah hati. Ia ditulis untuk orang-orang yang hilang hati, menjadi robot, atau budak-budak yang terpaksa menyembah berhala.

Aku mulai mengoceh bebas seperti Pak Raden di depan penonton-penonton bayaran yang masih bocah tentang kejadian menyenangkan di balik kampanye politik Jeremy Corbyn saat konser Glastonbury berlangsung: Jutaan mulut lantang berseru bagian “You don’t speak for us.” Aku memberi penekanan pada kalimatku dan kuulang tiga kali. Kau tertegun gondok. Yah, seperti yang Kamu tahu, aku lanjut mendongeng hal-hal trivial seperti mata juling Thom Yorke yang diedit saat jadi model sampul majalah di masa mudanya, ketidakmiripan kakak-beradik Greenwood, pertemanan dengan Paul Thomas Anderson yang membawa Jonny ke Rajashtan untuk film Junun dan Thom bikin Anima, atau peristiwa meninggalnya istri Phillip Selway sehingga Radiohead mendedikasikan In Rainbows untuknya.

Rambutmu sudah kering sepenuhnya. Kini Kamu berbaring di kasur, berguling-guling. Tampaknya mulai bosan.

“Coba dengar album The Bends. Mereka masih niat ngeband.”

Balikpapan di malam hari mulai malu-malu memejamkan matanya, menarik diri dari mobil-mobil yang disetir ngawur, racikan teh tarik di pengujung kadaluarsa, atau deru kapal raksasa yang terus dipanasi. Seharusnya, aku melanjutkan cerita norak In Rainbows, utamanya Weird Fishes/Arpeggi.


22) L’Imperatrice - Forever Nobody

Kamu menempati kamar besar yang dibagi dua. Menara-menara tinggi dan cakrawala biru nilakandi belum lama menghiasi latar di balik tirai jendela. Kompleks luas yang dipenuhi pesakitan, dirujuk ke utara dari seluruh penjuru Jakarta. Militer di mana-mana, menjaga tiap yang datang dan pergi, masuk juga keluar. Ini adalah karantina.

Perlu waktu sekian bulan untuk kita berhasil memangkas jauh. Sesuai rencana, kita memagari diri dari kemungkinan kontaminasi. Kalau tak salah ingat, kita sempat rutin membayar rindu dengan meluangkan waktu bersama selama periode bebasmu. Tapi dimensi jarak tak cuma jauh dan waktu.

Kamu adalah pemeran utama dari panggung yang terbatas. Aktor bisa keluar-masuk, tapi penonton harus membayar tiket dengan virus dan surat rujuk.

Para aktor berpindah dari satu menara ke menara lain dengan kostum perang masing-masing. Hidungmu biru lebam-lebam, kulitmu merah merengkah, gairahmu hitam terkimbang-kimbang. Selepas bertugas dan terkulai lelah, Kamu meluangkan waktu sisamu sebisamu denganku. Saat ancaman wabah merendah, Kamu meluangkan waktu sisamu sebisamu denganku. Saat waktu sebisamu denganku merendah, Kamu meluangkan waktu sisamu dengan kabar gembira yang sudah berbulan lamanya sabar menunggu.

Panggung terbatas kini mulai terbuka agak bebas. Namun penonton lama sudah bukan prioritas.


23) YOASOBI - Gonjou

Tautan Spotify datang silih berganti dalam obrolan kita di WhatsApp. YOASOBI hadir cukup sering meski kamu jarang menjawab. Pada masa ini, kesenanganmu dan keceriaanku tak lagi berbalas seimbang. Tekanan mengimpitmu dari segala arah, membuatmu merasa kecil. Chat kita tak ubahnya seperti penjara. Tuntutan berdamai dengan masa kecilmu yang layu memutar-balikkan hatimu untuk memilih salah satu.

Aku suka sekali Gonjou, pamerku di salah satu panggilan video kita. Selain produktif merakit lirik berbekal stilistika ajaib dan andal menjahit pola nada rumit sehingga mudah diingat, duo YOASOBI kebetulan sedang bekerjasama dengan penerbit komik yang memopulerkan Blue Period.

“Oh! Kamu akan suka sama karakter utamanya. Duh, siapa ya namanya? Dia mirip kayak kamu: kesulitan menyalurkan perasaan, padahal cukup ekspresif,” jawabmu sumringah. Lama rasanya tidak melihatmu sesumringah itu.

Serial anime Blue Period dirilis tiga minggu kemudian. Aku membagi keceriaanku denganmu.

Tak mengindahkan, Kamu mengajakku bertemu. Untuk kali terakhir. Meninggaliku seperangkat tulisan J.R.R. Tolkien bersampul tebal sebagai kado ulang tahunku yang lewat tujuh bulan, dengan secarik ucapan bernada perpisahan.

Kebayoran Baru tersenyum kecut dengan langitnya yang biru, membuat siapa saja berteori tentang pelipur lara tak kasatmata, juga kesenangan baru di tengah tawa semu yang menyaru. Waktu, tak malu-malu menyibaknya tanpa harus berseteru dengan cemburu.


24) Charlotte Day Wilson - Doubt

Kamu mengetuk pintu kamarku dua kali dengan lembut. Perlu diperhatikan bahwa mengetuk pintu tanpa mengucap salam, atau menguak identitas, bisa membuat siapapun di kamar berpikir yang aneh-aneh. Penjaga kosanku pernah mengiraku tuannya yang galak saat aku mengetuk sambil udud — tak sempat ucap salam.

"Astaghf.." aku baru mau menjerit kaget, tapi Kamu sigap memutar kenop pintu sebelum aku membangunkan si kucing hitam gendut yang tengah memproduksi iler sambil menganga.

Kamu membawa kue warna putih-merah yang diperoleh dari kursus masak seharga tujuh juta per seri (waktu itu masih masa uji coba gratis). Meski baru pertama membuat kue, tapi dari penampilannya, kuemu sudah cukup cantik untuk diperjualbelikan lewat usaha tata boga kekinian. Lapisan teratasnya berhias potongan-potongan stroberi dan daun seledri (atau daun min?), sisi-sisinya dibelit plastik tebal transparan yang melingkar untuk menjaga bentuknya supaya tetap seperti tabung gepeng. "Aku bikin dua, tapi aku nggak tahu bisa habis semua atau enggak."

"Taruh atas meja aja, tapi tolong tutupi pakai sesuatu. Jangan sampai Nia tahu," pintaku, menunjuk meja pendek kayu dan setumpuk kertas penuh coretan dan diagram. Kamu menuruti permintaanku lalu bergegas ke kamar mandi, mencuci kaki dan wajah yang seharian terpapar matahari Grogol, sesaknya kereta api listrik jurusan Sudirman, juga pendingin mal Senayan City yang sedingin isapan pertama rokok jenis mentol. Tak lama, Kamu menyusul berbaring di sampingku, agak canggung seperti sepasang suami-istri yang sedekade tak bertemu. Di atas kasur berseprei cokelat, Kamu melepas napas panjang. Kali ini tanpa masuk selimut.

Si kucing hitam gendut yang kukunya barusan dikikir mencakarmu tanpa aba-aba. Ekspresinya sedangkal galian pasirnya saat berak, matanya menghunus tajam seperti pisau-pisau lipat yang baru kau keluarkan dari plastik pembungkus. Cakaran itu meski tidak menyisakan bekas dalam, dilakukan dengan penuh unsur kesengajaan. Kalau tidak salah, ini kedua kalinya: terjadi di waktu yang berbeda, tapi masih berdekatan. Aku kurang tahu bagaimana cara nalar kucing bekerja, cuma kalau kutebak, ia tahu permainan apa yang Kamu lakukan di belakang dan ia menandaimu. Dan bila dugaanku betul, uang yang kukeluarkan untuk membuatnya berberat tujuh kilogram tak mubazir.

Aku, karena kurang mahir membaca pertanda, menyia-nyiakan kemampuan si Tujuh Kilogram dalam menandai si petanda yang membawa luka di hari depan.


25) Lake Street Dive - Feels Like the Last Time

Semakin ke sini, aku jadi tahu bahwa kucing bisa membaca. Mereka memang bukan insan yang paham literasi, tapi setidaknya urusan firasat dan tengara, naluri kucing lebih baik dariku. Dulu aku menganggap mereka cuma peka pada harum-haruman, bebunyian, atau apa saja yang bisa dikecap. Usut punya usut, si Tujuh Kilogram lihai membaca irama gerak-gerik manusia lalu menafsirkan maknanya. Paparan hipotesis-hipotesisnya meyakinkanku kalau ia punya banyak bahan penelitian. Ah, andai kucing bisa baca-tulis.

Aku tertarik menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Dia pun begitu. Tadinya aku mengajaknya membuat jurnal berisi tentang Kamu. Namun si Tujuh Kilogram menolak, kurang sopan, ulasnya setelah dipikir ulang. Kami sepakat menulis reka adegan kegiatan kami sehari-hari — secara khusus ia minta tanpa bumbu. Sebagai tambahan, ia juga bilang lebih baik ditulis dalam bahasa Inggris, lumayan buat latihan.

Kamu mungkin belum (atau tidak akan pernah) baca apa yang kami tulis bersama. Dia juga menegaskan tak ada urusannya dengan Kamu. Meski begitu, nama akun yang kami pakai pernah aku rekomendasikan padamu, ngomong-ngomong. Dia juga setuju, toh ini untuk melupakanmu.

“Dicicil rutin sedikit-sedikit. Nanti lama-lama akan berkurang sakitnya,” saran si Tujuh Kilogram. Aku manut saja, dia yang lebih paham. Apa yang dia bilang juga mirip konselor profesional. Sesekali pembicaraan kami dibuka dengan pijatan-pijatan lembut dari tangannya yang gendut. Memulai sesi dengan cara itu ternyata menenangkan, seperti sejuknya duduk pagi-pagi di kursi teras rumah eyang, menatap halaman tanah berembun yang dipenuhi sayap-sayap laron setelah semalaman dibasuh air hujan. Pernah kusarankan dia buka jasa serupa saja, tapi kadung takut manusia. Aku lupa tak semua kucing suka orang.

Dari observasinya, dia punya pandangan unik tentang perilaku manusia dan cicilan. Dengan sengak dan agak sok tahu, ia berargumen jika cicilan dapat membuat segalanya terkesan ringan dan tak menyakitkan. Karena benci sakit dan semua yang berat, manusia mudah tergiur pada khasiat yang ditawarkannya. Kesimpulan kesatu tentang cicil-mencicil: Kau dibuai, tak sadar membiarkannya menggerogotimu sampai terlilit (bisa berarti baik maupun buruk, tapi menurut si Tujuh Kilogram, yang buruk biasanya berhubungan dengan utang, termasuk tentang uang dan budi). Kesimpulan kedua tentang cicil-mencicil: Begitu pula jika kau yang dicicil, kau bakal mudah didapat sang pencicil saat cicilan dekat pengujung lunas. Namun, lilitan dari cicilan tipe kedua lebih asyik dan mesra. Kau yang akan dapat lebih dari nilai yang seharusnya.

Kalau Kamu bagaimana? Ah, andai kucing bisa baca-tulis.


26) Wham! - Last Christmas (Pudding Mix)

Terlahir di masa-masa liburan cukup menguntungkan. Ulang tahun Kamu mudah diingat. Tanggalnya di akhir bulan, apalagi di pengujung tahun. Selain baru gajian, biasanya ada bonus. Pernak-pernik Natal bertebaran di pertokoan, lengkap dengan perdebatan tentang ucapan di media sosial. Orang-orang cenderung menandai periode ini.

Kilas balik dan penentuan arah jadi agenda dalam rapat-rapat atau majalah-majalah: mengevaluasi beragam pelajaran ke belakang, menyiapkan rencana haluan ke depan.

Orang dengan tanggal lahir seperti Kamu juga tak butuh kejutan ulang tahun. Selalu ada yang baru di masa yang akan berakhir. Aku dengan sekotak kaleng permen kunyah, misalnya. Atau buku Murakami idaman. Atau satu set buku Arswendo idaman — yang ternyata sudah punya.

Dan Kamu juga tahu, ada yang baru di dua puluh tujuh kedua puluh lima.


--20??--

27) Yockie, Chrisye - Dia

Seumur hidup, aku belum pernah lihat kalkun. Namun aku pernah sekali mengicip bubur kalkun di suatu pagi. Penjualnya ramah, ia menyiapkan porsi lebih daun jeruk untuk mereka yang datang pagi. Si penjual juga pintar memilih lokasi: dipayungi pohon angsana tua rindang yang melukis bayangan bolong-bolong tak beraturan di atas kanvas jalan beraspal, dan ditemani kucing-kucing intelek yang antre saat minta jatah. Ayam yang mengajakku ke sana. Sayang, rasanya tak sespesial mengenang adegan kepala Mr. Bean menyatu dengan pantat kalkun. Kalau waktu itu Ayam mengelabuhiku dengan bilang bubur itu bubur ayam, aku akan percaya-percaya saja.

Buat orang yang ketagihan makan kalkun, sebaiknya tinjau kembali. Di London pernah ada peristiwa pencoretan silsilah keluarga berbuntut rebut-merebut hak waris hanya karena kalkun yang tersaji di meja makan sengaja dihidangkan dingin. Pertama, daging kalkun biasa saja. Kedua, kalkun itu dingin. Apa yang lebih buruk dari daging biasa saja yang dingin? Tentu saja Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding! Dan seseorang benar-benar melakukannya pada tahun 1877. Artinya kau seharusnya bisa kebagian jatah sebongkah tanah keluarga kenamaan di dataran rendah London yang kini harganya meroket oleh inflasi dan urbanisasi andai selera humormu tidak lebih iseng dari menyajikan Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding. Pentingnya mengolah kalkun di sana barangkali setara dengan kesakralan babi dalam pesta keluarga Batak. Atau peran bubuk cabai ekstra pada kuliner Jepang. Salah pilih cara, dendam dipelihara.

Perlu diingat memelihara dendam itu buruk. Kau tahu ada buku yang membahasnya, bukan? Aku ingat Kamu pernah baca dan seharusnya sudah menonton filmnya. Tak seperti judulnya, bisa jadi sang pengarang punya maksud lain. Dendam bisa saja tak harus dibayar tuntas. Dendam juga bisa dilunasi dengan cara-cara lain. Tukar-menukar, perbaikan hubungan, perjanjian dengan setan. Sejauh ini, manusia masih bisa mengakali apa saja.

Dan sebagai manusia yang bisa mengakali apa saja, aku tak akan memelihara dendam pada Seonggok Kalkun Beku Yang Disatukan Dengan Sepiring Puding.


***

Terima kasih, empat tahunnya. Selamat dua puluh tujuh yang kedua puluh lima.

Listening to: Epik High, Yuna - No Different

Thursday, June 27, 2019

Empat Puluh Hari


Dulu aku tidak bisa bayangkan seandainya aku harus tidur dengan istri yang baru bisa tidur dengan lampu mati. Gelap dan sunyi, menyedihkan rasanya. Hanya sudut tertentu di kamar yang bisa kau pandangi dari matamu yang malu-malu menyembul dari balik selimut tebalmu, seperti cahaya nanar lampu penanda suhu AC di atas tirai warna krem yang tak pernah kau ganti, atau semburat pantulan lampu itu di gantungan baju besi di seberangnya. Jika lagi beruntung, secercah cahaya kuning lemah berhasil masuk melewati sempitnya lubang ventilasi yang kini tertutup kertas HVS — untung saja lemnya tidak rapi — dari lobi indekos.

Sedari kecil, ada banyak hal yang membuatku takut tidur di keadaan gelap — dan sunyi sempurna, tentu saja  bahkan sampai setelah aku dewasa dan sedang bersiap menyambut anak keduaku. Yang pertama, kasurku empuk. Saking empuknya, denyut di tulang belakang terasa kencang, menjalar dari ujung rambut hingga kuku jari kakiku, seakan tubuhku dihuyung ombak saat berlayar, atau lebih parah, digoyang bumi dengan gempanya. Kebetulan, aku berada di Yogyakarta saat gempa 2006 memorakporandakan kota kelahiranku dengan kekuatan yang tak main-main, 5.9 skala Richter selama hampir 57 detik pada jam 5:55 pagi. Jadi traumaku pada goncangan tak terduga cukup beralasan, bukan? Terlebih, instingku untuk selalu siaga menilik ada atau tidaknya gerakan pada air minum di dalam botol yang selalu kusiapkan di meja riasku tiap kali ada goncangan (istriku kerap menggerakkan kakinya saat tidur) membuatku bergantung pada hadirnya cahaya agar bisa terlelap dalam damai.

Ngomong-ngomong, tadi malam aku mengalaminya. Satu pejaman terakhir tanpa pernah kembali terbuka, disorot lampu menyala heboh seperti sedang persiapan konser orkestra. Istriku yang perutnya seperti habis memakan galon tidak pernah menampilkan wajah sejelek itu. Pipinya merah karena gemetar hebat, mulutnya terbuka setengah dan sesekali, air mata yang mengalir deras dari kedua matanya masuk ke mulutnya. Rasa asin dari air mata atau ingus — yang mungkin merusak momen — tidak diacuhkannya dengan tetap sesenggukan dan malas mengelapnya dengan tisu. Anakku menyaksikan drama ibunya dari balik daun pintu kamar paviliun Edelweis bernomor 4. Adik iparku memeluknya erat. Namun, bocah itu tidak menangis. Wajahnya seperti tampang aktor di panggung yang kebingungan karena lupa skenario, tidak bisa mengikuti arah cerita yang disiapkan untuknya. Ia terlalu kecil untuk tahu kalau kehilangan seorang ayah adalah peristiwa yang sama sekali tidak menyenangkan.

Hari ini adalah hari di mana keluargaku direpotkan dengan urusan pemandian jenazah, rumah duka, pemakaman, dan berbasa-basi dengan sanak saudara, atau teman-teman lama kami. Istriku belum tidur, terhitung dua puluh delapan jam lamanya sejak bangun dari samping ranjang paviliun tempatku berbaring selama empat bulan. Aku suka tidur-tiduran, tapi jika kau melakukannya empat bulan penuh, punggungmu rasanya tak karuan. Delapan jam yang lalu, saat istriku dan dua orang suster memandikan jasadku, aku bisa melihat luka mengelupas di punggungku. Pantas saja, dengan berat badanku yang semakin menurun akhir-akhir ini, rasanya punggungku hanya diisi tulang belakang dan berjubah kulit tanpa daging satu gram pun.

Tujuh jam yang lalu, aku melihat jasadku sudah mengenakan setelan jas mahal (baru) yang selama hidup aku tak pernah memakainya. Setelan jas yang aku punya terakhir kugunakan saat aku menghadiri pesta pernikahan adikku, lima tahun yang lalu. Tentu, ukuran jas baru ini lebih kecil dibanding setelan yang aku punya. Semenjak tubuhku menyusut, semua pakaian yang kukenakan membuatku seperti para rapper pesisir barat Amerika tahun 90-an. Begitu selesai dimandikan, kumis dan janggutku dirapikan, dicukur habis dengan telaten oleh suster senior menggunakan pisau silet yang diiklankan David Beckham. Suster junior mengolesi permukaan wajahku dengan bedak tipis. Ah, jadi ingat masa kecil di mana sehabis mandi aku tidak boleh main ke luar rumah kalau sudah diberi bedak. Tak luput, bibirku diberi sentuhan lipstik tipis berwarna natural supaya tidak pucat.

Enam jam yang lalu, mobil jenazah dari rumah duka tiba. Aku mengamati peti seperti apa yang istriku siapkan untukku. Satu, dua, tiga! Para petugas memberi aba-aba saat menurunkan peti dari mobil jenazah. Peti itu sepertinya tidak murah. Dari ilmu perkayuan yang aku dapat saat berbisnis mebel di awal 2000-an, aku bisa menyimpulkan kalau petiku terbuat dari jati Belanda tua yang terbukti awet, juga tahan cuaca dan hama. Warnanya hitam pekat dengan sentuhan kilau yang menyenangkan seperti sebuah grand piano. Yang aku suka darinya adalah ukiran ornamen yang tidak berlebihan, tapi elegan. Aku tidak suka ukiran floral atau potret suatu kisah di kitab suci. Untungnya istriku tahu seleraku, ia memilih ukiran bergaris tipis dengan tambahan kutipan Marquez, "Make no mistake: peaceful madmen are ahead of the future." Humor rendahan seperti ini jadi salah satu dari sejuta alasan aku mencintai istriku.

Jasadku sudah dimasukkan ke peti. Tiga orang petugas menggotongnya dari kamar pemandian ke dalam ruang kayu sempit beralas beludru putih gading yang sepertinya empuk. Tutup peti disiapkan. Para tetangga yang datang jauh-jauh ke rumah sakit berebut melihatku di dalam peti. Mungkin mereka tidak benar-benar percaya kabar kematianku sampai menyaksikanku terbujur tak bernapas. Begitu tutup peti dipasang dan mur-murnya dikencangkan, mereka memalingkan muka dan berbisik satu sama lain. Sesekali berbasa-basi dengan anakku, "Wah gantengnya bapakmu habis dimandikan," atau "Jam berapa tadi?" atau "Jadi bapak sakit apa?" dan sebagainya.

Pukul empat pagi, tepat lima jam yang lalu jasadku tiba di rumah duka. Hanya butuh waktu 10 menit untuk berkendara dari rumah sakit ke rumah duka. Maklum, jalanan sepi dan pak supir adalah mantan supir bak sayur. Begitu tiba, aku baru tahu ternyata rumah duka tidak seseram yang aku bayangkan. Banyak kucing di sini. Mungkin itu yang membuatnya tidak seram, hehe.

Ruangan tempat jasadku dibaringkan cukup besar untuk menampung 200 pelayat. Terdapat belasan meja panjang yang di atasnya telah siap dua belah piring berisi permen mint berbagai merk. Lengkap dengan dekorasi bunga seruni dan kain serba putih. Juga tiga buah foto setengah badan saat aku masih berlemak  dan berperut buncit  dengan pigura hitam dan latar belakang biru tua, kontras dengan dekorasinya. Di pintu penyambutan, istriku cukup telaten menyiapkan foto-foto saat aku balita, remaja, hingga beberapa bulan sebelum aku mati. Ia menyusunnya bak pameran foto seorang tokoh pop. Sepertinya ia kadung memprediksi kematianku dari cukup lama dan telah mempersiapkan semuanya begitu saatnya tiba.

Empat jam yang lalu, aku terbaring sendirian di rumah duka. Semua orang, baik yang kukenal maupun tidak, sudah kembali ke rumah masing-masing. Barangkali untuk mempersiapkan upacara peringatanku nanti. Ya sudah, apa salahnya orang mati ikut beristirahat? Tolong seseorang bangunkan aku jam 7 nanti.

Eh sialan. Aku kan sudah mati. Gimana ya cara tidur untuk orang mati? Kenapa belum ada buku yang mengulasnya? Pengalaman mati pertama ini sungguh membingungkan. Hmm baiklah. Aku sempat luntang-lantung, tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membabat waktu. Apa ikut pulang ke rumah saja dan melihat keadaan keluargaku? Tapi karena kupikir akan membosankan  dan siapa tahu anakku bisa melihat hantu, jadi mungkin bakal menakutinya  aku memutuskan untuk bermain kucing saja sampai upacaranya berlangsung.

Satu jam lamanya aku bermain kucing. Ternyata betul kata orang, kucing bisa melihat hantu. Mereka memahamiku seperti mereka memahami manusia hidup. Tapi tidak juga sih. Setelah kupikir lagi, mereka lebih tertarik pada jiwa yang sudah mati. Aku bisa menggiring mereka sesuka hati tanpa harus susah payah menarik perhatian mereka, memanggil pus pus seperti waktu aku masih hidup, atau menggerak-gerakkan lidi di tanah. Sekarang, cukup menatap dan membatin saja mereka langsung menurut. Asyiknya.

Sudah pukul enam. Deretan mobil pengangkut kiriman karangan bunga memenuhi lahan parkir. Mereka menurunkan pesanan dengan namaku tercantum di papan, lalu menatanya sambil lalu layaknya profesional. Membujur dari utara ke selatan, aku bisa membaca nama-nama familiar dan ucapan duka yang repetitif untukku. Bersama dengan itu satu per satu keluarga datang ke rumah duka. Istriku mengenakan gaun batik hitam yang kami beli di Pekalongan tahun lalu. Kami sengaja pilih ukuran besar, siapa tahu bisa dipakai untuk acara penting waktu menginjak hamil tua. Anakku, seperti biasa, salah kostum dengan kemeja Avengers kebanggaannya. Suka-suka dia saja lah.

Mereka berdua berdiri di pintu masuk sambil menyalami kawan yang datang mengunjungiku. Ungkapan simpatik yang tabah, yang ikhlas, dan yang kuat ya Mbak bertubi-tubi disampaikan. Entah buat istriku, buatku yang mati saja sudah terdengar klise dan membosankan. Tapi tak ada salahnya berterima kasih. Aku berdiri di samping istriku sambil mengingat-ingat nama orang yang datang. Aku merekoleksi kenangan yang timbul dari orang-orang itu. Setiap individunya menggugah kenangan yang berbeda. Teman dari masa yang satu dan masa yang lain. Beribu pengalaman bodoh, menyesakkan, dan menggelitik tawa muncul bersamaan seperti nyala ribuan lilin di peringatan tahunan korban teror Paris. Ternyata temanku banyak juga ya. Aku bangga.

Sejam yang lalu aku berjalan menengok jasadku sendiri. Berdesakan dengan orang-orang yang mendoakanku di samping peti mati, aku bisa merasakan pembusukan tubuhku yang memulai prosesnya. Sendi-sendi tubuhku mulai kaku perlahan, sama seperti dingin yang menjalar dari kaki sebelum aku mati tadi. Aku bisa mencium bau yang berbeda dari jasadku yang mulai mengeluarkan cairan kuning dari lubang telinga. Juga rona merah yang memudar dari permukaan kulitku. Aku terlihat pucat. Jiwaku terasa dingin, bergetar, dan sendirian. Dadaku sesak. Bersama orang-orang terdekat yang sedang mendoakanku, tangisku meledak. Aku belum siap melihat jasadku menyatu dengan bumi. Aku terbang menarik diri dari ruangan nestapa itu. Suara sayup sembahyang yang dikirimkan padaku kian keras dan menyesaki telingaku. Kalimat-kalimat permohonan yang terus diulang mengganggu ratapanku. Aku menjauh sejauh-jauhnya. Aku pergi. Terasing. Dan menghilang.

Di detik ini, aku masih melamun di puncak sebuah gedung di kota yang tak kukenal. Kupikir sepertinya peti sudah ditimbun tanah dan nisan sudah terpasang. Suara-suara berisik kembali mereda. Aku cuma mengenali satu suara, milik istriku. Bicaranya serak, nadanya rendah. Tanpa menangis, ia mendoakanku ketenangan, supaya bisa ikhlas tanpa melihat ke belakang. Supaya tak menahan langkahku, supaya tak menunggunya, supaya tak mengejarnya. Setelah empat bulan lamanya aku tak sadarkan diri, ia telah belajar sesuatu yang selama ini aku tak bisa menirunya. Empat bulan lamanya aku melawan apa yang menggerogotiku. Empat bulan lamanya ia telah berikhlas. Tidak adil rasanya. Sementara aku ingin mengajaknya. Ingin bersamanya. Tapi apalah, apa kuasaku untuk tak mengikhlaskan yang telah berikhlas?

Jadi, empat puluh hari lagi ya? 

***

Selamat jalan, Bapak.

Listening to: The Carpenters - Yesterday Once More

Thursday, February 14, 2019

Es Kopi Susu



Mobil-mobil polisi, cahaya merah-biru, dan aspal malam yang basah. Aku terbangun, sirine ninu-ninu menggema hingga kamarmu.
Langkah sepatu bot, berderap riuh mengetuk lantai kayu. Kelinci-kelinci di lorong kabur dari kandang. Bermain-main dengan kotak sepatu.
Asap mengepul tinggi, api sampai di lantai tiga. Dan dia mengetuk pintu. “Halo, apa ada orang?”
Dia mengintip dari lubang di dinding.
Aku tak menjawab.
Dokter menyobek secuil kulitmu, mengambil yang ada di dalam secukupnya, lalu menjahitnya perlahan dengan benang bening tipis mengilap. Ia mengenakan setelan blus berenda hitam sedikit transparan yang bersembunyi di balik jas putihnya. Matamu mengikuti gerakan jarinya, lembut.
“Halo?”
Es kopi susu yang ia pesan untuk kita mulai mengembun. Titik demi titik air mengalir ke dasar gelas plastik. Meja berlapis kaca hitam, basah. Aku mengambil satu gelas, meninggalkan genangan air melingkar. Menenggaknya barbar, tenggorokanku yang kerontang seperti tambang tembaga di Gurun Atacama yang tiba-tiba dilanda banjir bandang hasil hujan deras sepuluh hari di Chile. Polisi mengetuk lagi.
Percuma berpura-pura, menyerah saja lah. Kami banyak di depan,” serunya.
Aku tetap diam. Kau berteriak.
“Apa itu?” katanya, diiringi suara senapan dikokang.
Telunjuk kurus si dokter mendarat di kotak tisu kering. Mengambil selembar, mengolesnya ke sekujur tangan, setelah habis mencuci. Masker sudah dibuka, operasi telah selesai. Ia memiliki mata besar di balik kacamata tebalnya. Kulitnya putih terawat, dengan senyum menipu dan pipi yang merah tanpa bubuk perona. Barangkali ia rajin ke klinik kesehatan kulit. Yah, namanya juga dokter.
Sebuah pesan masuk ke ponselmu. Notifikasi hijau dari grup yang tak begitu penting buatmu, berisi tautan asing dengan utm ig_profile_share dikirim oleh teman sebangku. Kau menekannya.
“He could only consider me as the living corpse of a would-be suicide, a person dead to shame, an idiot ghost.”
Laman Pinterest dengan ajakan untuk bergabung, kau menekan tanda X di ujung kanan atas. Kutipan Dazai tersemat di gambar langit malam bertabur bintang, dengan huruf jenis Helvetica putih tergores tegas.
“Kuhitung sampai tiga atau kami terpaksa masuk,” teriak si polisi. Gesekan jaket kulit yang ia kenakan terdengar sampai kamarmu. Gerakan-gerakan kecil ia buat, peluh mulai membasahi dahinya, tegang.
Kau meraih remot dan menyalakan tv. Saluran berita menyiarkan langsung pemusnahan sarang tawon berdiameter satu meter di Magetan, Jawa Timur, dengan melibatkan Dinas BPBD setempat. Karena struktur rumah terbuat dari kayu, kami tidak memakai api, kata kepala satuan, melainkan tembakan air yang dimodifikasi dengan pestisida.
Kau menguap, mengganti ke saluran lain.
“Satu…”
Persiapan debat pemilihan presiden republik ini telah dimulai. Dua pasang calon diwawancarai. Wartawati muda nan berani menembakkan pertanyaan yang ditangkis dengan jawaban-jawaban diplomatis yang tak inovatif.
“Dua…”
Si dokter mengatupkan tangan. Dagunya maju sedikit, menelengkan kepalanya miring ke kiri. Ia mengangguk kecil, lalu bergumam, “Kalian pilih yang mana?”
“Tiga!”
Kau menggeleng lemah. Keduanya tak menarik bagimu. Petahana kurang memuaskanmu, dan oposisi tak kunjung membawa angin baru.
“Ayolah, sampai kapan propaganda tai kucing meracunimu? Golongan putih-golongan putih sepertimu tak bakal bisa puas sampai kapanpun,” serangnya.
Pintu didobrak, kapten polisi berhasil masuk tanpa hambatan. Tiga orang lainnya bergegas maju melindunginya — barangkali ada kejutan. Ruangan itu hanya menyisakan sebuah ranjang, dua buah kursi bakso dengan cat mulai luntur, lampu meja yang redup, dan perangkat televisi tabung yang menampilkan siaran langsung debat pemilihan presiden.
Aku menyeruput sisa es kopi susu, menghabiskannya.
“Minum es kopi susu itu baik agar kau tak cepat mati, setidaknya begitu sih hasil Konvensi Asosiasi Kopi Pantai Pasifik Ke-88 di Coronado tahun lalu. Tetap tidak diminum? Baiklah kalau begitu. Aku segera bilang penjaga untuk dibukakan. Kalian membosankan, aku tak sabar keluar dari ruangan busuk ini,” keluhnya sambil menenteng dua potong lidah, dua ponsel kita, dan sisa benang jahit yang tak terpakai pada operasi kali ini.
Kau mengabaikannya, meski kau tahu ucapan dokter itu betul adanya. Aku menyodorkan satu gelas padamu, tapi kau menolaknya. Pasrah saja lah. Kita bisa apa, tanyaku padamu dalam hati.
“Ketemu! Mereka di kamar mandi. Jerat mereka dan bawa seperti yang lain,” seru sang kapten di tengah api yang mulai menjalar ke lantai empat. “Beri tahu si dokter jangan pulang dulu. Operasi belum selesai, masih banyak lidah untuk malam ini. Uhuk.”
Aku merebut remot tv darimu dan mengganti salurannya. Pemilihan presiden tinggal sebulan lagi. Dan malam itu, bertambah lagi anggota kamarmu yang gelap berjeruji.

***

Listening to: Ego Wrappin - Inbetweenies

Sunday, September 17, 2017

Kue Lapis


Tak seperti nadi yang bisa digurat, memori tak bisa ditipu begitu saja. Ia terus memburumu, bahkan saat ragamu dan tanah nenek moyangmu lama menyatu.

Kali pertama tatapannya menyihirku adalah saat aku sedang antre membayar tagihan di kasir, aku untuk game online, dan ia untuk voucher akses internet. Sorot matanya yang sayu membuntutiku hingga ke kasur kamarku. Memori itu terus berulang. Berakhir saat terlelap, lalu dimulai lagi begitu terbangun, rautnya lah yang selalu mengganggu rasa penasaranku. 

Hingga siang itu, aku sadar itu bukan kali pertama aku melihatnya. Aku pernah melihatnya di bus. Kalau tidak salah, tinggal aku, dia, dan supir saat bus jalur nomor dua melaju kencang ke selatan. Gadis itu turun lebih dulu, sekitar satu kilometer dari tempatku biasanya turun. Sekilas aku melihat wajahnya, rupa murung tapi entah bagaimana tetap bersinar merebut fokus mataku. Bodoh sekali, pikirku, aku tak menyadari kehadirannya sepanjang perjalananku meski aku duduk di jok paling belakang. Begitu ia turun, langkahnya tertuju pada sebuah gang yang hanya muat untuk satu kendaraan roda empat. Naluriku memaksaku mengingat huruf-huruf yang menggantung di atas gapura gang, tapi bus keburu melaju kejar setoran.

***

Aku menghabiskan empat jam sehari di warnet itu. Salah satu sisinya dijejali para pemain game online, dan sisi lainnya untuk mengakses internet. Kebanyakan pengunjungnya adalah remaja-remaja tanggung yang kebingungan menghabiskan energi berlebih mereka begitu bel pulang sekolah berbunyi. Bak pembatas di masjid-masjid, loket kasir itu seakan memisahkan anak laki-laki di ruang game dan perempuan di area akses internet. Biasanya saat membayar tagihan lah, laki-laki dan perempuan dapat berjalan beriringan di tempat yang sama.

Saat mengantre, aku menggali ingatanku tentang rupa gadis murung. Sambil memandangi wajah sampingnya, kutemukan berbagai kecocokan dengan penggalan-penggalan ingatan yang sudah lama berlalu—rambutnya pendek sebahu, poninya tanggung hingga tak sampai menutup alis dan telinganya, matanya sipit saat tersenyum, hidungnya tidak pesek maupun mancung, bibirnya tipis juga sedikit lebar. Perpaduan gerakan bibir dan matanya dapat sekejap mengubah raut murungnya menjadi riang. Hal itu kulihat setiap ia balas menyapa kenalan yang lebih dulu menyapanya. Ia juga mengenakan seragam sekolah (rival sekolahku) yang sama seperti saat kulihat dia di bus. Segenap aktivitas pemanggilan kembali informasi itu membuat tatapanku kosong dan meninggalkan mulutku yang masih menganga. Tak sadarkan diri, terbuai paras beningnya. Begitu ia menoleh ke arahku, aku membuang mukaku dan diam-diam mengarahkan pandanganku ke bordir nama yang tersemat di seragam sekolah yang ia kenakan. "Tamara Pramodharanindra."

Tak butuh waktu lama untuk menggali informasi pribadinya. Mesin pencari saat itu belum canggih-canggih amat, meski begitu, hanya butuh dua detik untuk mengetahui bahwa Nora, teman dekatku, ternyata teman dekatnya juga. Singkat cerita, Nora mempertemukan kami di sebuah kafe. Ia langsung pulang begitu kami berdua selesai memesan minum. Nora keparat. Betul-betul jebakan yang menyenangkan. Kuurungkan niatku membahas temanku itu lebih jauh. Selain jebakan pengubah sejarah itu, tak ada yang spesial dari pertemuan pertama. Yang kuingat, seluruh informasi yang kukumpulkan tak membuat gugupku berkurang sedikitpun.

Ia menarik tangan kananku kemudian menjepitkan kedua tangannya di kedua sisi tanganku, "Lihat, kue lapis."

"Sialan."

"Padahal, kau mengaku jarang keluar rumah, tapi kulitmu sehitam babi hutan yang kelamaan nongkrong dekat api unggun."

Begitulah, aku memang lebih suka mengurung diri di satu tempat. Bukan berarti aku anti sosial, aku hanya malas menjelajahi tempat-tempat baru—atau berkenalan dengan orang baru—di mana remaja seusiaku silih berganti menggandrungi satu tempat lalu dua bulan berikutnya pindah ke tempat lainnya. Saat itu, aku masih tinggal di rumah nenekku karena orang tuaku sedang dinas di luar kota. Hal ini cukup membantuku, terutama karena nenekku lumayan konvensional, ia memaksaku belajar hingga jam sembilan malam, lalu menyuruhku tidur sejenak kemudian. Hasilnya, nilai ujianku cukup memuaskan meski aku sering bolos untuk bermain game online.

"Ngomong-ngomong, orang tuaku membekaliku kue lapis tiap hari. Kapan-kapan kau harus coba."

"Boleh," jawabku girang. Dengan bilang kapan-kapan, berarti akan ada pertemuan selanjutnya.

Tamara setahun lebih muda dariku. Ia penggemar Emily Davison, pejuang hak-hak perempuan generasi pertama, ujarnya. Konon, wanita Inggris itu menabrakkan diri pada kuda balap milik raja untuk memprotes tak kunjung diberikannya hak berpolitik perempuan. Kami ngobrol banyak soal Davison di kafe. Obrolan kami tampak begitu hidup, meski aku terlihat seperti penonton pertunjukan wayang yang duduk manis mendengarkan dalang asyik bercakap menggunakan berbagai macam tokoh.

"Kau tahu, Emily nggak langsung meninggal."

"Sebutannya tetap martir."

"Bisa dibilang begitu. Toh lima belas tahun berikutnya perempuan Inggris boleh ikut pemilihan."

***

Sebulan berlalu, kami semakin sering bertemu dan mulai bertukar informasi soal hal-hal pribadi. Tamara tampak bersemangat menceritakan masa kecilnya. Dahulu, orang tuanya secara berkala bertukar peran dalam mengasuh anak. Ibunya mengelola gedung bioskop kecil—kerap disulap menjadi gedung teater atau bahkan tempat diskusi dadakan—yang hanya dibuka untuk komunitas tertentu. Namun, karena terbatasnya tempat-tempat diskusi di kota ini, gedung itu tak pernah sepi agenda. Begitu mulai jenuh, ia memutuskan untuk istirahat tiga bulan dan memasrahkannya kepada partner bisnisnya, kemudian tinggal di rumah mengasuh Tamara. Setelah puas, ia kembali bekerja dan giliran suaminya yang banyak di rumah. Ayah Tamara seorang pengajar arkeologi. Menjadi sekadar pengajar saja di universitas tentu tak memakan banyak waktu, kecuali kau sedang mengerjakan proyek penelitian. Karenanya, ia harus bisa memanfaatkan tiga bulan—jatah fokus bekerja sesuai kontrak perkawinannya—yang ia miliki untuk menyelesaikan penelitiannya sebaik mungkin. Di samping itu, ayah Tamara juga maniak sejarah. "Cuma soal Mataram Kuno, itu pun terbatas soal Wangsa Syailendra," jelas Tamara. Nama Pramodharanindra adalah pemberian ayahnya, gabungan dari Pramodawardhani, ratu Mataram Kuno yang diperistri Rakai Pikatan kemudian bersama menaklukkan Balaputradewa sebelum ia mendirikan Sriwijaya, dan pendahulunya, Dharanindra, raja yang diperkirakan memulai pembangunan Candi Borobudur dan memperluas kekuasaan Mataram hingga sebagian Indocina. Nama adalah harapan, maka nama yang berat diiringi beban yang berat pula. Meski begitu, Tamara tak terlalu memikirkannya, baginya nama hanyalah sebuah sebutan untuk membedakan manusia dengan manusia yang lain.

"Pramodawardhani lah yang merampungkan Borobudur. Bahkan, ia juga membebaskan pajak beberapa desa supaya warga mau ikut merawatnya. Monarki boleh, adil harus," kekeh Tamara memuji asal-usul namanya.

"Bisa simpan ceritanya lain kali? Kue lapismu ini enak sekali," kataku sambil mengunyah kue lapis pemberian Tamara.

"Kau memang tak suka dengar ceritaku ya?"

Mendadak raut murung yang sebulan terakhir tak kujumpai kembali menghiasi wajahnya. Aku menanyakan sebabnya, tapi ia malah menunduk dan terdiam. Akhirnya ia memberanikan diri buka mulut.

"Belakangan ini, aku merasa sedang dikuntit seseorang."

Mulutku sedang asyik memamah kue lapis dan hampir tersedak saat mendengarnya. Aku buru-buru menelannya bulat-bulat. "Lalu?"

Semua bermula saat ayahnya terlibat penelitian penting. Setahu dia, penelitian ini ada hubungannya dengan penemuan yang bikin geger baru-baru ini. Penemuan dua prasasti kuno di kawasan pembangunan bandara baru kota kami. Dua prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sebagai ahli arkeologi yang punya ketertarikan khusus soal Mataram Kuno, ayahnya ditunjuk untuk menyelidiki isi dua bongkah batu tersebut, dan menuturkan faedah yang bisa diambil untuk pembangunan bandara kali ini. Yang pertama diperkirakan dari abad kedelapan, yang lain abad kesembilan. Keduanya belum dinamakan, tapi kurang lebih isinya mengenai pembangunan tempat pemujaan terbesar Mataram Kuno, di pesisir selatan Laut Jawa.  Di prasasti pertama tertulis bagaimana candi raksasa mulai dibangun. Kurang lebih isinya begini,

"Ratusan petak hutan, kebun, dan segelintir rumah milik penduduk yang tak sudi mendukung pemuliaan mesti dibabat habis. Tiada yang lebih utama dari sumbangsih kaum manusia pada yang maha pemberi. Pengampunan diberikan pada mereka yang mau patuh, dengan membabat alas yang terlampau liar, memindahkan batu-batu raksasa, membuat ukiran-ukiran, atau membentuk arca-arca. Tanpa cambuk yang diayunkan, tanpa pedang yang dihunuskan. Sementara pengorbanan dibebankan pada mereka yang menolak tunduk, dengan daun-daun telinga, bola-bola mata, potongan-potongan lidah."

Prasasti yang kedua menceritakan akhir dari kisah pembangunan candi.

"Lima dasawarsa berlalu tanpa sejengkal purnama. Satu undak tersisa dan maha pemberi akan mengampuni. Cakrawala terlalu malu dan bersembunyi di balik selimutnya. Belum saatnya gelap, sang buyut enggan menerima puja dan sesembahan. Mengambil apa yang diberikan, memberi yang tak diinginkan. Saat mereka yang tak tampak menyapa dari seberang, kami pontang panting berlarian. Mereka datang. Mereka datang."

"Sebentar, hubungannya sama dikuntit?" tanyaku keheranan.

"Begini, kau tahu kan ibuku mengelola bioskop?"

"Ya, terus?"

"Setiap malam sebelum ditutup, bioskop selalu diperiksa ulang, untuk perawatan. Nah belakangan, proyektor film yang ada di bioskop jadi sering kotor. Semacam, menembakkan burik kemerahan ke pusat layar. Layarnya sih normal-normal saja. Saat dicoba putar film, bagian-bagian tertentu jadi tak terlihat. Posisinya acak, tapi bentuknya selalu sama. Tentu mengganggu, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan.

Tamara menjelaskan seraya mengulungkan sebuah foto burik yang dimaksud. Burik itu aneh, sulit mendeskripsikannya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

"Ibuku sudah komplain, tapi ternyata semua komunitas screening mengaku tak memakai proyektor yang kotor itu. Mereka pakai proyektor cadangan yang gambarnya tak terlalu bagus. Karena tak percaya, ibuku memeriksa rekaman cctv di ruang proyektor. Tapi ternyata betul, mereka tak memakainya. Kotor dari sebelum pakai, kata mereka. Padahal begitu kotor langsung dibersihkan, lho. Lagipula anggota komunitas itu juga tak tahu cara membersihkannya, sih," lanjut Tamara.

Aku mengambil sepotong kue lapis lagi.

"Karena kotor lagi kotor lagi, ibuku kudu mengelapnya berulang-ulang, bikin dia pulang malam. Setelahnya, pas ibuku mau pulang, telepon kantornya berdering. Lalu ya begitu, tak ada seorangpun yang menjawab, cuma orang iseng. Sesampainya di rumah ternyata ayahku juga cerita mengalami hal yang sama—telepon iseng. Anehnya, si penelepon cuma iseng telepon ke nomor kantor mereka. Ponsel dan telepon rumah aman."

"Jadi, ini siapa sih yang dikuntit?"

"Aku belum selesai. Beberapa hari terakhir, sehabis istirahat kedua, aku dipanggil ke ruang TU. Ada telepon, katanya. Begitu kuangkat, sama seperti orang tuaku, tak ada yang menjawab. Aku sampai pesan ke petugas TU kalau ada telepon lagi buatku, diamkan saja. Aku merinding tak habis pikir. Kok aku kena juga?"

"Goblok."

Aku bergidik.

***

Hubungan kami hanya bertahan tujuh bulan. Ia memintaku putus karena mengaku ingin fokus pada ujian sekolahnya—ia memang rajin, lagi cerdas. Bertahun-tahun berlalu, kini aku sudah cukup dewasa dan tinggal di pucuk timur nusantara. Konon pembangunan bandara di kota kelahiranku sempat mandeg lama. Serangkaian isu mulai dari pembebasan lahan, besarnya potensi bencana, duit yang dikorupsi, hingga kasus hilangnya tokoh-tokoh penting yang menentang pembangunan bandara itu bertubi-tubi menghantam prosesnya.

Kebetulan, aku sedang pulang kampung dan—seperti makhluk sosial pada umumnya—memamerkan kepulanganku lewat instastory. Sebuah notifikasi pesan muncul dari layar ponselku. Nora, temanku yang mengenalkanku pada Tamara, mengajakku bertemu. Ia baru saja kembali dari studinya di Australia dan barangkali sedang menganggur. Kami ngobrol tak tentu arah macam bapak-bapak eks begundal saat masih bujang, bertukar nostalgia yang itu-itu saja, tak ada habisnya. Sudah barang tentu, Tamara tak meleset dari topik pembicaraan.

"Begitu ya, jadi sampai sekarang jasadnya belum ketemu," gumam Nora.

"Sekalipun, aku masih belum lepas, lho."

"Lemah."

"Bukan, seperti yang kubilang, bayangan Tamara sering muncul tiba-tiba. Bayangan yang sama. Tak ada lagi raut murungnya. Tak ada lagi mata sayunya. Tak tampak lagi daun telinganya. Tak terdengar lagi kecap bibirnya. Tak ada lagi sinarnya."

"Ngeri anjing."

"Mau gimana lagi, memori mempermainkanku. Tiap ia muncul, mulutnya menganga kecil. Seolah mau bilang sesuatu. Tangannya melambai lemah. Belum sempat bersuara, pudar sukmanya ditelan sadarku."

"Sepandai-pandai kau mengecoh, memori tak tertipu semudah itu."

Tiga bulan sebelum bandara itu beroperasi, polisi mengumumkan penemuan puluhan tulang belulang manusia yang hanyut terdampar di pesisir selatan Jawa. Perkiraan usia kematian mereka tak lebih dari sepuluh tahun. Hanya sedikit yang bisa diotopsi, termasuk beberapa tengkorak yang telah menguning, lengkap dengan recak yang sangat familiar. Sulit mendeskripsikan bentuknya. Seperti bekas lipatan sprei yang menempel di pipimu saat bangun tidur. Seperti lelehan putih telur di wajan yang terpisah dari intinya. Seperti darah yang terpercik di tampon saat haid hari terakhirmu. Pilih saja sesukamu.

Sontak, aku menjatuhkan kue lapisku.

***

Listening to : Joey Bada$$ - Hazeus View